UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
bahwa sesuai dengan
falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya
Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1),
pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG
PERKAWINAN
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal
1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal
2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang
isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal
4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi
izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai
isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal
5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi
syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB
II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal
6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal
ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal
7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat
minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua
orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau
kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Pasal
8
Perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman
susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan
lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal
9
Seorang yang terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam
Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal
10
Apabila suami dan istri yang telah
cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Pasal
11
(1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal
12
Tata cara perkawinan diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri.
BAB
III PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal
13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada
orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal
14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga
mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai
berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai
hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal
15
Barang siapa yang karena perkawinan
dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar
masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal
16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
Pasal
17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga
kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai
permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai
pencatat perkawinan.
Pasal
18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut
dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan
pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal
19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan
apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal
20
Pegawai pencatat perkawinan tidak
diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal
21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa
terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia
akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak
yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan
alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan
yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan
menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat
dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut
ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan
yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin
dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
BAB
IV BATALNYA PERKAWINAN
Pasal
22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal
23
Yang dapat mengajukan Pembatalan
perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16
Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal
24
Barang siapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal
25
Permihonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat
tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal
26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan
alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama
sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak
berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya
untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal
28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya
perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik,
kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas
adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB
V PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal
29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
BAB
VI
HAK
DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
Pasal
30
Suami-isteri memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan
masyarakat.
Pasal
31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal
32
(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal
33
Suami isteri wajib saling saling
cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin
yang satu kepada yang lain.
Pasal
34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
BAB
VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal
35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal
36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Pasal
37
Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
BAB
VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal
38
Perkawinan
dapat putus karena:
a.
Kematian,
b.
Perceraian dan
c.
atas keputusan Pengadilan.
Pasal
39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur
dalam peraturan perundangan tersebut.
Pasal
40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal
ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal
41
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak
dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul
biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
BAB
IX KEDUDUKAN ANAK
Pasal
42
Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal
43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan
anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak
atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB
X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal
45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal
46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu
memerlukan bantuannya.
Pasal
47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal
48
Orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal
49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan
saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk
memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
BAB
XI
PERWAKILAN
Pasal
50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.
Pasal
51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan
lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut
atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan berkelakuan
baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan
harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang
berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan
atau kelalaiannya.
Pasal
52
Terhadap wali berlaku juga pasal 48
Undang-undang ini.
Pasal
53
(1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang
tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna
dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai
wali.
Pasal
54
Wali yang telah menyebabkan kerugian
kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau
keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di
wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB
XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian
Pertama Pembuktian Asal-usul Anak
Pasal
55
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte
kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini
tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul
seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti
yang memenuhi syarat.
(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini,
maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Bagian Kedua Perkawinan di Luar Indonesia
Pasal
56
(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara
Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan
itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali
di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor
Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga Perkawinan Campuran
Pasal
57
Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal
58
Bagi orang-orang yang berlainan
kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal
59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan
atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum
publik maupun hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini.
Pasal
60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum
terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak
masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat
(1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak
masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa
syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan
surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan
memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding
lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan
atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak
beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6
(enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal
61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang
berwenang.
(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa
memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4)
Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan
sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan
tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan
dihukum jabatan.
Pasal
62
Dalam perkawinan campuran kedudukan
anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian
Keempat Pengadilan
Pasal
63
(1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini
ialah:
a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh
Pengadilan Umum.
BAB
XIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini
berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
Pasal
65
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik
berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini
maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada
semua isteri dan anaknya;
b. steri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas
harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau
berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama
yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk
beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain,
maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB
XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal
66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka
dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan
pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal 2
Januari 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
JENDERAL
TNI.
Diundangkan di Jakarta, pada tanggal
2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I
SUDHARMONO,
SH.
MAYOR
JENDERAL TNI.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !